Cerita Dewasa Papa Tiri ku Merengut Keperawanan Memek ku

Posted by bisnis on Monday, April 30, 2012

Cerita Nafsu ini berawal dari kenakalan orang tua tiri ku dan kepasrahan diriku. Perkenalkan namaku Juita, usiaku 16 tahun. Aku sekarang duduk di kelas II SMA di Sumedang. Suatu hari aku mendapat pengalaman yang tentunya baru untuk gadis seukuranku. Oya, aku gadis keturunan Jawa dan Sunda. Sehingga wajar saja kulitku terlihat putih bersih dan satu lagi, ditaburi dengan bulu-bulu halus di sekujur tubuh yang tentu saja sangat disukai lelaki. Kata teman-teman, aku ini cantik lho.

Memang siang ini cuacanya cukup panas, satu persatu pakaian yang menempel di tubuhku kulepas. Kuakui, kendati masih ABG tetapi aku memiliki tubuh yang lumayan montok. Bila melihat lekuk-lekuk tubuh ini tentu saja mengundang jakun pria manapun untuk tersedak. Dengan rambut kemerah-merahan dan tinggi 167 cm, aku tampak dewasa. Sekilas, siapapun mungkin tidak percaya kalau akuadalah seorang pelajar. Apalagi bila memakai pakaian casual kegemaranku. Mungkin karena pertumbuhan yang begitu cepat atau memang sudah keturunan, entahlah. Tetapi yang jelas cukup mempesona, wajah oval dengan leher jenjang, uh.. entahlah.


Pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah, seperti biasanya aku berpamitan dengan kedua orangtuaku. Cium pipi kiri dan kanan adalah rutinitas dan menjadi tradisi di keluarga ini. Tetapi yang menjadi perhatianku siang ini adalah ciuman Ayah. Seusai sarapan pagi, ketika Mama beranjak menuju dapur, aku terlebih dahulu mencium pipi Ayah. Ayah Robi (begitu namanya) bukan mencium pipiku saja, tetapi bibirku juga. Seketika itu, aku sempat terpaku sejenak. Entah karena terkejut untuk menolak atau menerima perlakukan itu, aku sendiri tidak tahu.

Ayah Robi sudah setahun ini menjadi Ayah tiriku. Sebelumnya, Mama sempat menjanda tiga tahun. Karena aku dan kedua adikku masih butuh seorang ayah, Mama akhirnya menikah lagi. Ayah Robi memang termasuk pria tampan. Usianya pun baru 38 tahun. Teman-teman sekolahku banyak yang cerita kalau aku bersukur punya Ayah Robi.
"Salam ya sama Ayah kamu.." ledek teman-temanku.

Aku sendiri sebenarnya sedikit grogi kalau berdua dengan Ayah. Tetapi dengan kasih sayang dan pengertian layaknya seorang teman, Ayah pandai mengambil hatiku. Hingga akhirnya aku sangat akrab dengan Ayah, bahkan terkadang kelewat manja. Tetapi Mama tidak pernah protes, malah dia tampak bahagia melihat keakraban kami.

Tetapi ciuman Ayah tadi pagi sungguh diluar dugaanku. Aku memang terkadang sering melendot sama Ayah atau duduk sangat dekat ketika menonton TV. Tetapi ciumannya itu lho. Aku masih ingat ketika bibir Ayah menyentuh bibir tipisku. Walau hanya sekejab, tetapi cukup membuat bulu kudukku merinding bila membayangkannya. Mungkin karena aku belum pernah memiliki pengalaman dicium lawan jenis, sehingga aku begitu terkesima.
"Ah, mungkin Ayah nggak sengaja.." pikirku.

Esok paginya seusai sarapan, aku mencoba untuk melupakan kejadian kemarin. Tetapi ketika aku memberikan ciuman ke Mama, Ayah beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar. Mau tidak mau kuikuti Ayah ke kamar. Aku pun segera berjinjit untuk mencium pipi Ayah. Respon Ayah pun kulihat biasa saja. Dengan sedikit membungkukkan tubuh atletisnya, Ayah menerima ciumanku. Tetapi setelah kucium kedua pipinya, tiba-tiba Ayah mendaratkan bibirnya ke bibirku. Serr.., darahku seketika berdesir. Apalagi bulu-bulu kasarnya bergesekan dengan bibir atasku. Tetapi entah kenapa aku menerimanya, kubiarkan Ayah mengulum lembut bibirku. Hembusan nafas Ayah Robi menerpa wajahku. Hampir satu menit kubiarkan Ayah menikmati bibirku.
"Baik-baik di sekolah ya.., pulang sekolah jangan keluyuran..!" begitu yang kudengar dari Ayah.

Sejak kejadian itu, hubungan kami malah semakin dekat saja. Keakraban ini kunikmati sekali. Aku sudah dapat merasakan nikmatnya ciuman seorang lelaki, kendati itu dilakukan Ayah tiriku, begitu yang tersirat dalam pikiranku. Darahku berdesir hangat bila kulit kami bersentuhan.

Begitulah, setiap berangkat sekolah, ciuman ala Ayah menjadi tradisi. Tetapi itu rahasia kami berdua saja. Bahkan pernah satu hari, ketika Mama di dapur, aku dan Ayah berciuman di meja makan. Malah aku sudah berani memberikan perlawanan. Lidah Ayah yang masuk ke rongga mulutku langsung kuhisap. Ayah juga begitu. Kalau tidak memikirkan Mama yang berada di dapur, mungkin kami akan melakukannya lebih panas lagi.

Hari ini cuaca cukup panas. Aku mengambil inisiatif untuk mandi. Kebetulan aku hanya sendirian di rumah. Mama membawa kedua adikku liburan ke luar kota karena lagi liburan sekolah. Dengan hanya mengenakan handuk putih, aku sekenanya menuju kamar mandi. Setelah membersihkan tubuh, aku merasakan segar di tubuhku.

Begitu hendak masuk kamar, tiba-tiba satu suara yang cukup akrab di telingaku menyebut namaku.

"Wit.. Wit.., Ayah pulang.." ujar lelaki yang ternyata Ayahku.
"Kok cepat pulangnya Yah..?" tanyaku heran sambil mengambil baju dari lemari.
"Iya nih, Ayah capek.." jawab Ayah dari luar.
"Kamu masak apa..?" tanya Ayah sambil masuk ke kamarku.
Aku sempat kaget juga. Ternyata pintu belum dikunci. Tetapi aku coba tenang-tenang saja. Handuk yang melilit di tubuhku tadinya kedodoran, aku ketatkan lagi. Kemudian membalikkan tubuh. Ayah rupanya sudah tiduran di ranjangku.

"Ada deh..," ucapku sambil memandang Ayah dengan senyuman.
"Ada deh itu apa..?" tanya Ayah lagi sambil membetulkan posisi tubuhnya dan memandang ke arahku.
"Memangnya kenapa Pa..?" tanyaku lagi sedikit bercanda.
"Nggak ada racunnya kan..?" candanya.
"Ada, tapi kecil-kecil.." ujarku menyambut canda Ayah.
"Kalau gitu, Ayah bisa mati dong.." ujarnya sambil berdiri menghadap ke arahku.
Aku sedikit gelagapan, karena posisi Ayah tepat di depanku.
"Kalau Ayah mati, gimana..?" tanya Ayah lagi.
Aku sempat terdiam mendengar pertanyaan itu.
"Lho.., kok kamu diam, jawab dong..!" tanya Ayah sambil menggenggam kedua tanganku yang sedang memegang handuk.

Aku kembali terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana. Bukan jawabannya yang membuatku diam, tetapi keberadaan kami di kamar ini. Apalagi kondisiku setengah bugil. Belum lagi terjawab, tangan kanan Ayah memegang daguku, sementara sebelah lagi tetap menggenggam tanganku dengan hangat. Ia angkat daguku dan aku menengadah ke wajahnya. Aku diam saja diperlakukan begini. Kulihat pancaran mata Ayah begitu tenangnya. Lalu kepalanya perlahan turun dan mengecup bibirku. Cukup lama Ayah mengulum bibir merahku. Perlahan tetapi pasti, aku mulai gelisah. Birahiku mulai terusik. Tanpa kusadari kuikuti saja keindahan ini.

Nafsu remajaku mulai keluar ketika tangan kiri Ayah menyentuh payudaraku dan melakukan remasan kecil. Tidak hanya bibirku yang dijamah bibir tebal Ayah. Leher jenjang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu pun tidak luput dari sentuhan Ayah. Bibir itu kemudian berpindah ke telingaku.
"Yah.." kataku ketika lidah Ayah masuk dan menggelitik telingaku.

Ayah kemudian membaringkan tubuhku di atas kasur empuk.
" Yah.. nanti ketahuan Mama.." sebutku mencoba mengingatkan Mama.
Tetapi Ayah diam saja, sambil menindih tubuhku, bibirku dikecupnya lagi. Tidak lama, handuk yang melilit di tubuhku disingkapkannya.
"Juita, tubuh kamu sangat harum.." bisik Ayah lembut sambil mencampakkan guling ke bawah.
Dalam posisi ini, Ayah tidak puas-puasnya memandang tubuhku. Bulu halus yang membalut kulitku semakin meningkatkan nafsunya. Apalagi begitu pandangannya mengarah ke payudaraku.
"Kamu udah punya pacar, Wit..?" tanya Ayah di telingaku.
Aku hanya menggeleng pasrah.

Ayah kemudian membelai dadaku dengan lembut sekali. Seolah-olah menemukan mainan baru, Ayah mencium pinggiran payudaraku.
"Uuhh..," desahku ketika bulu kumis yang dipotong pendek itu menyentuh dadaku, sementara tangan Ayah mengelus pahaku yang putih. Puting susu yang masih merah itu kemudian dikulum.
"Yah.. oohh.." desahku lagi.

" Yah.. nanti Mamm.." belum selesai kubicara, bibir Ayah dengan sigap kembali mengulum bibirku.
"Ayah sayang Juita.." kata Ayah sambil memandangku.
Sekali lagi aku hanya terdiam. Tetapi sewaktu Ayah mencium bibirku, aku tidak diam. Dengan panasnya kami saling memagut. Saat ini kami sudah tidak memikirkan status lagi. Puas mengecup putingku, bibir Ayah pun turun ke perut dan berlabuh di selangkangan. Ayah memang pintar membuatku terlena. Aku semakin terhanyut ketika bibir itu mencium kemaluanku. Lidahnya kemudian mencoba menerobos masuk. Nikmat sekali rasanya. Tubuhku pun mengejang dan merasakan ada sesuatu yang mengalir cepat, siap untuk dimuntahkan.
"Ohh, ohh.." desahku panjang.

Ayah rupanya tahu maniku keluar, lalu dia mengambil posisi bersimpuh di sebelahku. Lalu mengarahkan tanganku ke batang kemaluannya. Kaget juga aku melihat batang kemaluannya Ayah, besar dan tegang. Dengan mata yang sedikit tertutup, aku menggenggamnya dengan kedua tanganku. Setan yang ada di tubuh kami seakan-akan kompromi. Tanpa sungkan aku pun mengulum benda itu ketika Ayah mengarahkannya ke mulutku.
"Terus Wit.., oh.. nikmatnya.." gumamnya.
Seperti berpengalaman, aku pun menikmati permainan ini. Benda itu keluar masuk dalam mulutku. Sesekali kuhisap dengan kuat dan menggigitnya lembut. Tidak hanya Ayah yang merasakan kenikmatan, aku pun merasakan hal serupa. Tangan Ayah mempermainkan kedua putingku dengan tangannya.

Karena birahi yang tidak tertahankan, Ayah akhirnya mengambil posisi di atas tubuhku sambil mencium bibirku dengan ganas. Kemudian kejantanannya Ayah menempel lembut di selangkanganku dan mencoba menekan. Kedua kakiku direntangkannya untuk mempermudah batang kemaluannya masuk. Perlahan-lahan kepala kontol itu menyeruak masuk menembus selaput dinding vaginaku.
"Sakit.. Yah.." ujarku.
"Tenang Sayang, kita nikmati saja.." jawabnya.
Pantat Ayah dengan lembut menekan, sehingga Kontol yang berukuran 17 cm dan berdiameter 3 cm itu mulai tenggelam keseluruhan.

Ayah melakukan ayunan-ayunan lagi. Kuakui, Ayah memang cukup lihai. Perasaan sakit akhirnya berganti nikmat. Baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang tiada taranya. Pantas orang bilang surga dunia. Aku mengimbangi kenikmatan ini dengan menggoyang-goyangkan pantatku.
"Terus Wit, ya.. seperti itu.." sebut Ayah sambil mempercepat dorongan Kontolnya.
"Ayah.. ohh.., ohh.." renguhku karena sudah tidak tahan lagi.
Seketika itu juga darahku mengalir cepat, segumpal cairan putih meleleh di bibir vaginaku. Kutarik leher Ayah hingga pundaknya kugigit keras. Ayah semakin terangsang rupanya. Dengan perkasa dikuasainya diriku.

Vagina yang sudah basah berulangkali diterobos Kontol Ayah. Tidak jarang payudaraku diremas dan putingku dihisap. Rambutku pun dijambak Ayah. Birahiku kembali memuncak. Selama tiga menit kami melakukan gaya konvensional ini. Tidak banyak variasi yang dilakukan Ayah. Mungkin karena baru pertama kali, dia takut menyakitiku.

Kenikmatan ini semakin tidak tertahankan ketika kami berganti gaya. Dengan posisi 69, Ayah masih perkasa. Kontol Ayah dengan tanpa kendali keluar masuk vaginaku.
"Nikmat Wit..? Ohh.. uhh.." tanyanya.
Terus terang, gaya ini lebih nikmat dari sebelumnya. Berulangkali aku melenguh dan mendesah dibuatnya.
" Yah.. Juita nggak tahan.." katakuku ditengah terjangan Ayah.
"Sa.. sa.. bar Sayang.., ta.. ta.. han dulu.." ucap Ayah terpatah-patah.
Tetapi aku sudah tidak kuat lagi, dan untuk ketiga kalinya aku mengeluarkan mani kembali.
"Okhh.. Ohkk.. hh..!" teriakku.
Lututku seketika lemas dan aku tertelungkup di ranjang. Dengan posisi telungkup di ranjang membuat Ayah semakin belingsatan. Ayah semakin kuat menekan Kontolnya. Aku memberikan ruang dengan mengangkat pantatku sedikit ke atas. Tidak berapa lama dia pun keluar juga.
"Okhh.. Ohh.. Ohk.." erang Ayah.
Hangat rasanya ketika mani Ayah menyiram lubang vaginaku.

Dengan peluh di tubuh, Ayah menindih tubuhku. Nafas kami berdua tersengal-sengal. Sekian lama Ayah memelukku dari belakang, sementara mataku masih terpejam merasakan kenikmatan yang baru pertama kali kualami. Dengan Kontol yang masih bersarang di vaginaku, dia mencium lembut leherku dari belakang.
"Wit, Ayah sayang Juita. Sebelum menikahi Mamamu, Ayah sudah tertarik sama Juita.." ucap Ayah sambil mengelus rambutku.

Mama dan adikku, tiga hari di rumah nenek. Selama tiga hari itu pula, aku dan Ayah mencari kepuasan bersama. Entah setan mana yang merasuki kami, dan juga tidak tahu sudah berapa kali kami lakukannya. Terkadang malam hari juga, walaupun Mama ada di rumah. Dengan alasan menonton bola di TV, Ayah membangunkanku, yang jelas perbuatan ini kulakukan hingga sekarang.

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment